Selamat Datang! Anda adalah pengunjung ke - ようこそ! あなたは人目のお客様に:

2011-11-07

Renungan: Kecelakaan KA Ratujaya 2 November 1993 - 1993年11月2日のラテゥジャヤ電車事故

Mungkin di antara kita banyak yang tidak mengetahui kejadian ini, karena kurang terasa dampaknya dibandingkan kecelakaan kereta api rel diesel kelas ekonomi di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Namun, kecelakaan ini tercatat sebagai kecelakaan KRL terburuk dalam sejarah KRL Jabodetabek karena menelan puluhan korban tewas.

Pada masa itu, PT. KAI sendiri masih menggunakan nama Perumka, di mana petak jalur antara stasiun Depok (デポク駅) dan stasiun Citayam (チタヤム駅) masih menggunakan jalur tunggal (単線) yang kini telah menjadi jalur untuk KRL yang menuju ke arah Bogor, yang mana masih terdapat halte Pondok Terong (ポンドクテロン停止) di antara kedua stasiun tersebut.

Peristiwa ini bermula ketika rangkaian KRL ekonomi dengan menggunakan KRL jenis rheostatik berbahan dasar baja ringan atau mild steel buatan Nippon Sharyo (日本車輌製造会社) tahun 1983 diberangkatkan oleh petugas pemberangkatan KA stasiun Depok tanpa mengabarkan berita jalur aman terlebih dahulu kepada petugas pemberangkatan KA (PPKA/車両出発役員) stasiun Citayam, di mana pada saat yang bersamaan sebuah rangkaian KRL ekonomi lain yang sarat penumpang dari Bogor baru saja berangkat dari stasiun Citayam, rangkaian tersebut adalah KRL rheostatik berbahan dasar baja tahan karat (stainless steel) produksi tahun 1986 buatan Hitachi.

Tabrakan kedua kereta tersebut terjadi di sebuah tikungan yang tidak jauh dari desa Ratujaya, di mana kedua KRL bertabrakan muka dengan kecepatan sedang, dan menyebabkan kereta terdepan dari 4 kereta rangkaian rheostatik buatan tahun 1983 terbelah dua, terangkat ke atas serta menindih persambungan kereta kedua yang juga remuk, sedangkan rangkaian KRL rheostatik dari Bogor mengalami kerusakan serius pada 2 kereta dari depan karena efek benturan dari KRL yang datang dari arah berlawanan.

Kecelakaan tersebut menewaskan sekurang-kurangnya 17 orang termasuk masinis dan kondektur kedua KRL, dan menyebabkan dua kereta dari KRL rheostatik stainless dengan nomor KL3-86107 dan KL3-86108 terpaksa dirucat/scrap di Balai Yasa Manggarai, demikian pula nasib 2 kereta dari rheostatik baja ringan yang hingga kini nomornya masih belum diketahui dengan pasti.

Berikut ini adalah dokumentasi kecelakaan yang pernah dimuat di majalah Tempo tahun 2001:


Mengingat kejadian ini berlangsung saat para penglaju Jabodetabek memulai kesibukannya bekerja, tentunya saat itu kecelakaan ini langsung mengingatkan masyarakat akan tragedi Bintaro yang berlangsung 6 tahun sebelumnya.

Yang tersisa dari kecelakaan itu sendiri adalah gabungan dari kereta yang masih utuh dan luput dari kecelakaan tersebut, yaitu kereta M1 dan TC1 dari rheostatik stainless dan kereta M2 dan TC2 dari rheostatik mild, yang kini sudah sulit untuk dikenali konfigurasi aslinya karena rangkaian KL3-86106 dan KL3-86105 yang menjadi saksi bisu sebenarnya dari peristiwa ini digabungkan dengan sesama rheostatik stainless yaitu KL3-86119 dan KL3-86120, sementara kereta KL3-86118 dan KL3-86117 yang sesungguhnya sesuai formasi aslinya digabungkan dengan kedua kereta di atas ternyata justru dirangkai sebagai rangkaian campuran (digandengkan dengan KL3-84108 dan KL3-84107, yang mana penulis sendiri kesulitan untuk menganalisis rangkaian asal dari rheostatik baja ringan yang terlibat tabrakan karena sudah bercampur dengan rangkaian lainnya).

Seperti inilah rangkaian KRL rheostatik campuran tersebut:

Rangkaian asli, masa Perumka, stasiun Jakarta Kota
原形編成、Perumka年代、ジャカルタコタ駅にで 

Rangkaian sebelum perawatan lengkap, stasiun Cakung
保持前編成、チャクン駅にで

Hingga 18 tahun peristiwa ini berlalu dan rel Jakarta-Bogor sudah menjadi dua jalur (双線), lokasi kejadian masih tetap ada hingga saat ini dan rangkaian sisa dari kecelakaan tersebut masih beroperasi melayani pengguna jasa komuter ekonomi di seluruh lintas Jabodetabek.

Demikian renungan yang bisa disampaikan pada saat ini, semoga tulisan ini bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang perkeretaapian di Jabodetabek.

Mohon maaf apabila banyak terdapat kesalahan dalam tulisan ini.

4 komentar:

  1. Punya ulasan mengenai sistem sinyal dan rel perkeretaapian di Indonesia gak? Kalau gak salah, ada banyak sistem sinyal yg digunakan, lalu apakah PT. KAI telah melakukan standarisasi sinyal tersebut?

    BalasHapus
  2. untuk Himawan Pridityo: persinyalan di lingkungan PT. KAI terbagi menjadi 3 sistem utama: mekanik, semi elektrik dan elektrik penuh. saat ini belum ada standardisasi persinyalan; dengan kata lain banyak stasiun di berbagai Daop yang masih menerapkan persinyalan mekanik, bahkan pada stasiun besar sekalipun seperti di Pasar Turi.

    untuk yaraihan: terima kasih. saat ini rangkaian tersebut telah memiliki penomoran sistem Kemenhub (K3 1 XX XX) namun tidak menghilangkan plat nomor lama yang telah ada sejak masa Divisi Jabotabek.

    BalasHapus
  3. sumpah sy susah banget nyari berita ini diinternet-_-
    ortu sy udah tinggal di daerah ini dari tahun 80an, suka cerita tentang kejadian ini, karena kata papa sy kejadian ini jg lumayan besar, dan salah masinis di salah satu kereta itu temannya papa sy. kejadian ini jarang banget ada orang yang tau, setiap sy cecrita ke teman saya, idak ada satu pun yang tau. bisa tolong kasih link untuk berita lengkap menegenai kecelakaan ini? terima kasih..

    BalasHapus